Simpang-siur Data Pangan, Pemerintah Bisa Kehilangan Kepercayaan

Rencana pemerintah untuk melakukan impor beras kian menjadi polemik. Tak hanya menyoal kebijakan impor itu sendiri, namun juga merambah persoalan lain yakni kepastian data yang dipakai untuk mengambil kebijakan tersebut. Bagaimana tidak, sejumlah kementerian dan lembaga yang terkait kebijakan pangan nasional itu saling klaim data mereka adalah acuan yang tepat. Celakanya, data masing-masing kementerian dan lembaga terkait, berbeda satu sama lain.


detikFinance berkesampatan berbincang santai mengulas permasalahan tersebut bersama Wakil Ketua Badan Pertimbangan Organisasi HKTI (Wakil Ketua BPO-HKTI) yang juga Ketua Kebijakkan Publik APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), Sekaligus mantan Deputi Menteri Koperasi dan UKM, Sutrisno Iwantono. Berikut wawancara lengkapnya.


Jika dilihat kepentingan petani, dan faktsun perjuangan petani dan organisasi tani, maka tindakan impor komoditi pertanian pasti tidak dapat diterima. Karena setiap impor komoditi pertanian pasti akan memberikan tekanan harga bagi hasil produksi komoditi tersebut di dalam negeri. Dan itu tentu memberikan dampak negatif bagi petani. Disisi lain juga merupakan indikasi ketidak berhasilan bagi produksi dalam negeri. Logikanya dilakukan impor karena produksi dalam negeri tidak mencukupi. Paling tidak 2 hal itu menandakan pertanian, dalam hal ini beras ada masalah.


Namun demikian bukan berarti selalu anti terhadap impor. Jika negara ini dalam kondisi darurat yang sangat sulit, apabila impor tidak dilakukan akan sangat mengacam keberadaan negara atau kehidupan masyarakat, tentu impor bisa di terima.


Kalau kita baca berita di media masa, soal impor beras inikan masih silang pendapat. Menteri Perdagangan dan Menko Perekonomian menyatakan bahwa impor harus dilakukan. Tetapi Dirut Bulog menyatakan stok masih cukup dan belum perlu impor. Menteri Pertanian menyatakan produksi dalam negeri cukup dan bahkan surplus. Silang pendapat semacam ini merupakan indikasi bahwa soal pangan ini kita belum dalam situasi darurat.

Harga beras eceran di pasar memang cenderung naik diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah. Misalnya di Jawa HET beras Rp 9.450/kg ,di Sumsel Rp 9.550 dan Maluku Rp 10.250/kg, di lapangan jauh diatas itu bahkan bisa mencapai Rp 12.000/kg.

Tampaknya Menteri Perdagangan gundah dengan harga itu, karena bisa memicu inflasi dan mungkin juga dikhawatirkan menimbulkan kegaduhan ekonomi di tingkat akar rumput yang bisa mengurangi kepercayaan pada pemerintah, terutama pada saat bulan puasa menjelang lebaran ini. Untuk amannya maka impor perlu dilakukan. Menurut saya motifnya adalah berjaga- jaga agar tidak ada kegaduhan ekonomi yang bisa mengganggu kepercayaan pada Pemerintah.

Kalau saya lihat justru dengan silang pendapat antar institusi itu malah bisa menimbulkan "distrust" ketidak percayaan. Antara Menteri Prdagangan dan Menteri Pertanian dan Badan Pusat Statistik tidak sinkron, terutama soal data. Yang satu bilang kurang yang lain bilang sudah surplus, bahkan Bulog menyatakan stok cukup. Dalam rapat Koordinasi terbatas di duga stok Bulog hanya 700.000 ton, dianggap tidak aman karena dibawah 1 juta ton, sehingga perlu impor. Bulog menyatakan tidak perlu impor karena ada stok sekitar 1,2 juta ton.


Departemen Pertanian bilang produksi surplus, pada bulan Juni akan panen 1,7 juta hektar lahan, padahal pada bulan-bulan biasa hanya 1,2 atau 1,3 juta hektar. Silang pendapat antar pemegang otoritas semacam ini justru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Bayangkan Bulog bisa menolak untuk impor beras, padahan putusan impor itu hasil Rapat Koordinasi dibawah Menko Perekonomian, bahkan telah pula disampaikan dalam sidang Kabinet. Bulog kan institusi jauh dibawah itu, dan pelaksana dari kebijakan pemerintah. Tetapi bisa membantah.

Menurut saya untuk memelihara kepercayaan masyarakat harus ada koordinasi dan sinkronisasi antar pemangku kewenangan organ-organ pemerintah. Didalam rapat-rapat internal bolehlah berbeda pendapat keras-kerasan sekalipun. Tetapi ketika keluar dan menghadapi publik harusnyalah satu suara dan ada harmonisasi. Hal ini sangat penting terutama dalam situasi ekonomi yang sedang sulit saat ini. Kepercayaan masyarakat harus di bangun dan di jaga supaya tidak terjadi eforia negatif. Kalau pengumuman pemerintah sudah tidak dipercaya, maka masyarakat akan berjalan dengan logikanya sendiri, dan bisa fatal bagi perekonomian. Jangan sampai nanti pemerintah bilang dolar akan turun, tetapi malah dipahami rakyat dolar akan naik. Ini berbahaya.


Banyak yang bilang harga beras kita ini lebih tinggi dari negara lain. Pendapat ini bisa benar bisa salah. Kalau dibanding harga impor, memang harga impor baik dari Vietnam dan Thailand itu masih murah. Sehingga harga di dalam negeri dianggap mahal. Tetapi kalau harga eceran ditingkat konsumen, di Indonesia masih tergolong murah. Harga beras eceran di Malaysia, Singapor atau Thailand masih lebih mahal dibanding harga kita. Kita selalu takut dengan harga yang naik setiap tahun. Harga ekspor di negara-negara seperti Thailand, Vietnam dan India selalu naik setiap taun. Di Thailand untuk Januari-April tahun 2017 ke Januari-April 2018 indexnya naik 19,3%, Vietnam 22,5%, US long grain 34,4%. Jadi kalau harga beras tiap tahun naik ya wajar saja. Kita selalu berdebat soal HPP (Harga Pokok Pembelian di tingkat petani) dan HET (Harga Eceran Tertinggi di tingkat konsumen).

Faktanya HPP yang ditetapkan Rp. 3.700,-/kg padi kering panen selalu diributkan karena Bulog tidak bisa beli dengan harga itu, sebab di pasaran sudah jauh lebih tinggi bisa diatas Rp 5.500/kg gabah kering panen. Demikian juga soal HET dipasar lebih tinggi dari HET Rp 9.450/kg beras yang ditetapkan pemerintah. Harga pasar di tingkat petani yang sudah diatas HPP menurut saya itu karena hukum pasar supply and demand, demikian juga harga eceran diatas HET. Hal ini menandakan memang kita masih ada masalah dalam produksi dalam negeri. Kalau produksi sudah mencukupi dan surplus sudah pasti harga akan turun, mau direkayasa kayak apapun harga pasti turun karena tunduk pada hukum pasar. Artinya kalau harga masih tinggi itu karena produksi belum mencukupi sebagaimana diinginkan.

Menurut saya bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Dengan HPP kita ingin menolong pendapatan petani agar layak? Menurut saya ini tidak mungkin. Dengan kepemilikan lahan rata-rata yang hanya sekitar 0,3 Ha per petani, istilahnya petani gurem tidak mungkinlah petani bisa hidup layak dari usaha taninya. Jika sumber penghidupan hanya dari situ saja, pasti tidak cukup. Harus ada upaya menciptakan penghasilan lain bagi petani diluar usaha taninya. Di Jepang petani bisa hidup layak karena sebagian pendapatan mereka berasal dari kegiatan non-farming di pedesaan. Macam-macm industri pengolahan berkembang di pedasaan, terkenal dengan istlah part-time farmer.


Satu-satunya cara untuk mengurangi ketergantungan hidupnya petani dari usaha tani yang gurem-gurem itu adalah menciptakan industri di pedesaan. Industri ini berbasis pengolahan hasil pertanian atau sumber daya lokal. Industri ini memberikan alternatif sumber penghasilan lain diluar usaha tani. Jadi jika harga padinya murah pada waktu musim panen, ya tidak apa-apa karena petani punya sumber penghasilan lain di luar usaha tani, sehingga dia tetap bisa hidup layak. Kita perlu menciptakan kesempatan kerja lain di pedesaan, bukan hanya usaha tani, tetapi juga industri, perdagangan dan jasa. Karena itulah diperlukan strategi pembangunan yang integrated, yang menyatukan sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, pariwisata yang didukung sektor-sektor lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kondisi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Triwulan I 2019

NERACA PEMBAYARAN INDONESIA (NPI) TRIWULAN I 2019

Posisi Surat Berharga Negara (SBN) Update April 2019