Kondisi Kemiskinan di Indonesia Tahun 2018 (data terbaru September 2018)

A. Kondisi Kemiskinan September 2018
Kemiskinan merupakan salah satu isu global yang menjadi perhatian penting pemerintah tiap negara. Indonesia juga salah satu negara yang menjadikan masalah kemiskinan ini sebagai prioritas utama pembangunan. Kesejahteraan masyarakat merupakan hasil dari penanggulangan kemiskinan yang dicita-citakan pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Data terakhir (September 2018) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,67 juta jiwa yang terdiri atas 10,13 juta jiwa di perkotaan dan 15,54 juta jiwa di pedesaan. Jumlah penduduk miskin Indonesia tersebut menurun sekitar 1,15 juta jiwa dibandingkan September tahun sebelumnya (September 2017) yang mencapai 26,82 juta jiwa.
Persentase penduduk miskin juga dapat menggambarkan tingkat kemiskinan suatu daerah. Jika dilihat berdasarkan persentasenya, penduduk miskin di Indonesia pada September 2018 dibandingkan September 2017 juga mengalami penurunan. Persentase penduduk miskin pada September 2017 sebesar 10,12 persen. Angka tersebut menurun pada September 2018 menjadi 9,66 persen. Menurut laporan publikasi BPS (Perhitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2018), persentase penduduk miskin Indonesia tahun 1999 sebesar 19,41 persen di perkotaan dan 26,03 persen di pedesaan. Kemudian persentase tersebut menurun pada Maret 2018 menjadi 7,02 persen di perkotaan dan 13,02 persen di pedesaan. Data tersebut kembali ter-update untuk September 2018 menjadi 6,89 persen di perkotaan dan 13,10 persen di perdesaan.
Tabel 1.   Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Per-September Tahun 2012 hingga 2018
Sep-12
Sep-13
Sep-14
Sep-15
Sep-16
Sep-17
Sep-18
Jumlah (ribu jiwa)
28594.64
28553.93
27727.78
28513.57
27764.32
26582.99
25674.58
Persentase (persen)
11,66
11,47
10,96
11,13
10,7
10,12
9,66

Jumlah dan persentase penduduk miskin dapat dilihat karena adanya garis kemiskinan. Garis kemiskinan tiap daerah akan berbeda-beda nilainya. Pada September 2018, garis kemiskinan Indonesia berada pada nilai Rp425.770 perkapita perbulan di perkotaan dan Rp392.154 perkapita perbulan di pedesaan. Nilai garis kemiskinan tersebut meningkat dibandingkan September tahun sebelumnya (September 2017) yang sebesar Rp400.995 perkapita perbulan di perkotaan dan Rp370.910 di pedesaan. Peningkatan garis kemiskinan dapat menggambarkan terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Garis kemiskinan tertinggi di perkotaan dan pedesaan pada September 2018 (data terakhir) dicapai oleh Kepulauan Bangka Belitung, yaitu sebesar Rp656.148 dan Rp672.104 perkapita perbulan (secara berurutan). Sementara garis kemiskinan terendah di perkotaan dicapai oleh Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar Rp324.276 perkapita perbulan dan garis kemiskinan terendah di pedesaan dicapai oleh Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp306.250 perkapita perbulan.
Menurut laporan BPS, salah satu ciri kemiskinan Indonesia adalah tingginya disparitas kemiskinan antarwilayah. Untuk dapat melihat disparitas tersebut, tingkat kemiskinan (persentase penduduk miskin) tertinggi dan terendah perlu diketahui. Pada September 2018, persentase penduduk miskin tertinggi dicapai oleh Provinsi Papua, yaitu sebesar 27,43 persen. Sementara persentase penduduk miskin terendah dicapai oleh Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 3,55 persen. Kesenjangan yang cukup besar diantara kedua persentase tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tingkat disparitas yang tergolong tinggi.
Selain jumlah dan persentase penduduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2) juga dapat menunjukkan kemiskinan suatu wilayah. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) Indonesia pada September 2018 sebesar 1,63 poin menurun 0,16 poin dibandingkan September 2017. Indeks keparahan kemiskinan (P2) Indonesia pada September 2018 sebesar 0,41 poin menurun 0,05 poin dibandingkan September 2017. Penurunan indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan kesenjangan kemiskinan makin menurun. Sementara indeks keparahan kemiskinan menunjukkan tingkat keparahan kemiskinan yang juga menurun. Kedua indeks kemiskinan tersebut menujukkan penurunan yang artinya terjadi perbaikan masalah kemiskinan di Indonesia.
Tabel 2.   Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia Tahun 2012 Hingga 2018 (periode September)
Sep-12
Sep-13
Sep-14
Sep-15
Sep-16
Sep-17
Sep-18
P1
1,9
1,89
1,75
1,84
1,74
1,79
1,63
P2
0,48
0,48
0,44
0,51
0,44
0,46
0,41


Menurut laporan BPS (Pehitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Maret 2018), berdasarkan klasifikasi status kemiskinan menurut pengeluaran penduduknya, hampir seluruh golongan (terdapat 4 golongan berdasarkan status kemiskinan) mengalami jumlah penurunan penduduk miskin dari Maret 2017 menuju Maret 2018. Hanya saja terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin pada golongan RML (rentan miskin lainnya) di perkotaan pada periode yang sama (Maret 2018). Begitu juga jika dilihat berdasarkan persentasenya. Hampir seluruh persentase keempat golongan mengalami penurunan dari Maret 2017 menuju Maret 2018. Hanya terjadi peningkatan persentase pada golongan RML di perkotaan pada periode yang sama. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin ini menunjukkan berkurangnya kemiskinan pada keempat golongan tersebut.
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Status Kemiskinan Maret 2017 dan Maret 2018
Bulan-Tahun
RML
HM
M
SM
Jumlah (ribu jiwa)
Mar-17
44.438
20.478
17.935
9.836
Mar-18
45.047
19.225
16.511
9.438
Persentase (persen)
Mar-17
17,02
7,84
6,87
3,77
Mar-18
17,05
7,28
6,25
3,57


Keterangan golongan :
RML : Rentan Miskin Lainnya (1,2 GK ≤ pengeluaran perkapita/bulan ≤ 1,6 GK)
HM : Hampir Miskin (1GK ≤ pengeluaran perkapita/bulan ≤ 1,2GK)
M : Miskin (0,8GK ≤ pengeluaran perkapita/bulan ≤ 1GK)
SM : Sangat Miskin (pengeluaran perkapita/bulan ≤ 0,8 GK)

Salah satu bahasan yang berhubungan erat dengan kemiskinan adalah ketimpangan. Ketimpangan dapat diukur dengan beberapa ukuran, salah satunya adalah menggunakan koefisien gini (gini ratio). Perhitungan indeks gini menghasilkan nilai antara 0 hingga 1. Nilai indeks gini yang semakin tinggi menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang juga semakin tinggi. Nilai indeks gini nol menunjukkan bahwa distribusi pendapatan merata (kemerataan sempurna). Nilai indeks gini Indonesia pada September 2018 sebesar 0,384 poin. Nilai tersebut menurun dari nilai indeks gini pada September 2017 yang sebesar 0,391 poin. Artinya pendapatan masyarakat Indonesia semakin merata.
Jika nilai indeks gini dilihat berdasarkan daerah (perkotaan dan pedesaan), maka akan terlihat bahwa umumnya nilai indeks gini perkotaan lebih besar dibandingkan nilai indeks gini pedesaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan lebih besar terjadi di daerah perkotaan dibandingkan di daerah pedesaan.
Tabel 4.   Data Indeks Gini Indonesia Menurut Daereh Bulan September Tahun 2012 Hingga 2018
Sep-12
Sep-13
Sep-14
Sep-15
Sep-16
Sep-17
Sep-18
Total
0,413
0,406
0,414
0,402
0,394
0,391
0,384
Perkotaan
0,425
0,424
0,433
0,419
0,409
0,404
0,391
Pedesaan
0,327
0,324
0,336
0,329
0,316
0,320
0,319

A.    Ketimpangan Maret 2018 (berdasarkan Perhitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Maret 2018 oleh BPS) : Keterangan Pelengkap
Selain menggunakan koefisien gini (gini ratio), ketimpangan juga dapat dilihat menggunakan Indeks Theil, Indeks L, dan Kriteria Bank Dunia. Nilai Indeks Theil dan Indeks L yang semakin tinggi menunjukkan ketimpangan yang semakin besar. Kedua indeks tersebut mengalami penurunan nilai indeks pada Maret 2018 dibandingkan tahun sebelumnya (Maret 2017). Indeks Theil menurun 0,002 poin, dari 0,282 poin (Maret 2018) menjadi 0,280 poin (Maret 2018). Indeks L menurun 0,003 poin, dari 0,252 poin (Maret 2017) menjadi 0,249 poin (Maret 2018). Penurunan kedua indeks tersebut menunjukkan pengurangan tingkat ketimpangan di Indonesia.
Sementara menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan terpusat pada golongan 40 persen terbawah. Kriteria Bank Dunia membagi penduduk menjadi tiga kelompok berdasarkan pengeluarannya: 40 persen terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen teratas. Kemudian Bank Dunia mengklasifikasikan tingkat ketimpangan menurut porsi pengeluaran kelompok/golongan terhadap seluruh pengeluaran penduduk. Klasifikasi tingkat ketimpangan tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Ketimpangan pengeluaran tinggi: jika porsi pengeluaran kelompok bawah (40 persen terbawah) kurang dari 12 persen
  2. Ketimpangan pengeluaran sedang: jika porsi pengeluaran kelompok bawah berada diantara 12 hingga 17 persen.
  3. Ketimpangan pengeluaran rendah: jika porsi pengeluaran kelompok bawah berada di atas 17 persen.
Selama periode 2012 hingga 2018, ketimpangan pengeluaran penduduk masih tergolong ketimpangan rendah akan tetapi persentasennya berfluktuatif. Persentase pengeluaran 40 persen golongan terbawah berada pada kisaran angka 16 hingga 17 persen pada tahun 2012 hingga 2018. Artinya ketimpangan di Indonesia tergolong rendah. 
Jika dilihat persentasenya pada tahun 2018 dibandingkan 2017, terjadi peningkatan persentase pengeluaran penduduk kelompok bawah, yaitu dari 17,12 persen menjadi 17,29 persen. Peningkatan persentase tersebut menunjukan ketimpangan pengeluaran yang semakin merendah. Artinya porsi pengeluaran penduduk semakin merata. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan daerahnya (perkotaan dan pedesaan), terjadi peningkatan persentase pengeluaran penduduk di daerah perkotaan (dari 16,04 persen tahun 2017 menjadi 16,47 persen tahun 2018). Namun untuk daerah pedesaan, justru terjadi penurunan persentase pengeluaran penduduk (dari 20,36 persen tahun 2017 menjadi 20,15 persen tahun 2018). Artinya ketimpangan pengeluaran penduduk tahun 2018 di perkotaan semakin merendah, tetapi ketimpangan pengeluaran penduduk di pedesaan meningkat (namun tetap tergolong ketimpangan rendah).
Tabel 5.   Distribusi Pengeluaran Penduduk Kelompok Terbawah (40% terbawah) Menurut Daerah dan Kriteria Bank Dunia Tahun 2012 – 2018 (persen)
Daerah
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Perkotaan
16
15,4
15,62
15,83
15,91
16,04
16,47
Pedesaan
20,6
21,03
20,94
20,42
20,4
20,36
20,15
Total
16,98
16,87
17,12
17,1
17,02
17,12
17,29








B.   Profil Rumah Tangga Miskin Maret 2018 (berdasarkan Perhitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Maret 2018 oleh BPS) : Keterangan Pelengkap
Laporan BPS mengenai kemiskinan dan ketimpangan juga mengidentifikasi profil rumah tangga miskin di Indonesia. Profil rumah tangga miskin dapat dilihat berdasarkan karakteristik sosial demografi, karakteristik pendidikan, karakteristik ketenagakerjaan, dan karakteristik tempat tinggal.
Karakteristik sosial demografi dilihat berdasarkan rata-rata jumlah anggota rumah tangga, persentase wanita yang menjadi kepala rumah tangga, rata-rata usia kepala rumah tangga, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Di Indonesia, rata-rata jumlah anggota rumah tangga penduduk miskin lebih banyak dibandingkan rata-rata jumlah anggota rumah tangga penduduk tidak miskin. Umur kepala keluarga rumah tangga miskin di Indonesia cenderung lebih tua dengan rata-rata umur 50,73 tahun. Sementara rata-rata umur kepala keluarga rumah tangga tidak miskin berkisar 47,86 tahun. Rata-rata lama sekolah kepala keluarga rumah tangga miskin lebih rendah dibandingkan kepala keluarga rumah tangga tidak miskin, yaitu 5,52 tahun (rata-rata lama sekolah kepala keluarga rumah tangga miskin) dan 8,17 tahun (rata-rata lama sekolah kepala keluarga rumah tangga tidak miskin). Rumah tangga miskin yang dikepalai oleh wanita sebesar 8,52 persen, sedangkan rumah tangga tidak miskin yang dikepalai oleh wanita hanya sebesar 7,98 persen.
Karakteristik pendidikan dapat dilihat berdasarkan tingkat buta huruf dan tamatan pendidikan kepala keluarga rumah tangga. Tingkat buta huruf kepala keluarga pada rumah tangga miskin di Indonesia sebesar 12,80 persen. Sementara tingkat buta huruf kepala keluarga pada rumah tangga tidak miskin hanya sebesar 4,73 persen. Persentase kepala keluarga rumah tangga miskin berpendidikan rendah (tidak tamat SD atau pendidikan terakhir SD) lebih tinggi dibandingkan persentase kepala keluarga rumah tangga tidak miskin yang berpendidikan rendah. Persentase kepala keluarga berpendidikan rendah pada rumah tangga miskin sebesar 74,43 persen, sedangkan persentase kepala keluarga berpendidikan rendah pada rumah tangga tidak miskin sebesar 49,41 persen.
Karakteristik ketenagakerjaan dapat dilihat berdasarkan ketergantungan rumah tangga pada sumber utama penghasilannya (suatu sektor) dan status pekerjaan kepala rumah tangga. Untuk rumah tangga miskin, persentase sumber penghasilan utama tertinggi ada pada sektor pertanian, yaitu sebesar 49 persen. Sementara pada rumah tangga tidak miskin, persentase sumber penghasilan utama tertingginya terdapat pada sektor lainnya, yaitu sebesar 48,81 persen, sedangkan rumah tangga tidak miskin yang sumber utamanya dari sektor pertaniannya hanya sebesar 28,51 persen. Pada rumah tangga miskin, persentase terbesar status pekerjaan kepala keluarganya adalah rusaha sendiri atau dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, yaitu sebesar 46,20 persen. Golongan tersebut pada rumah tangga tidak miskin hanya memiliki persentase sebesar 37,90 persen. Sementara pada rumah tangga tidak miskin, persentase terbesarnya adalah pada kepala keluarga yang berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai atau pekerja bebas, yaitu sebesar 44,07 persen. Golongan ini pada rumah tangga miskin hanya memiliki persentase sebesar 35,49 persen. Artinya rumah tangga miskin umumnya bergantung pada sektor pertanian dan memiliki kepala keluarga yang bekerja tidak tetap dibandingkan kepala keluarga rumah tangga tidak miskin yang bergantung pada sektor selain pertanian.
Karakteristik tempat tinggal dapat dilihat berdasarkan luas lantai tempat tinggal (rumah), jenis lantai rumah, jenis atap rumah, jenis dinding rumah, penggunaan listrik PLN tiap rumah, penggunaan air bersih sebagai air minum, kepemilikan jamban pribadi, dan status kepemilikan rumah. Menurut Kementerian Kesehatan, luas lantai rumah yang tergolong sheat minimal 8m2. Persentase rumah tangga miskin yang memiliki luas lantai di bawah 8m2 sebesar 26,41 persen, sedangkan persentase rumah tangga tidak miskin yang memiliki luas lantai di bawah 8m2 hanya 10,94 persen. Untuk indikator jenis lantai rumah, persentase rumah tangga miskin yang memiliki rumah berjenis lantai tanah sebesar 13,27 persen, sedangkan persentase rumah tangga tidak miskin yang memiliki rumah berjenis lantai tanah hanya sebesar 4,39 persen. Untuk indikator jenis atap rumah, persentase rumah tangga miskin yang masih menggunakan atap rumah dari ijuk/rumbia sebesar 3,67 persen, sedangkan persentase rumah tangga yang masih menggunakan atap rumah dari ijuk/rumbia tersebut hanya sebesar 1,02 persen.
Untuk indikator jenis dinding rumah, persentase rumah tangga miskin yang menggunakan dinding tembok sebesar 56,41 persen, sedangkan persentase rumah tangga tidak miskin yang menggunakan dinding tembok sudah sebesar 77,26 persen. Untuk indikator penggunaan listrik PLN, persentase rumah tangga miskin yang sudah menggunakan listrik PLN sebesar 91,48 persen, sedangkan persentase rumah tangga tidak miskin yang menggunakan listrik PLN sudah mencapai 96,95 persen. Untuk indikator penggunaan air bersih sebagai air minum, persentase rumah tangga miskin yang menggunakan air bersih tersebut sebesar 56,78 persen, sedangkan persentase rumah tangga tidak miskin yang menggunakan air bersih tersebut sudah mencapai 74,41 persen. Untuk indikator jamban pribadi, persentase rumah tangga miskin yang sudah memiliki jamban pribadi sebesar 61,24 persen, sedangkan persentase rumah tangga tidak miskin yang memiliki jamban pribadi sudah mencapai 80,94 persen. Untuk indikator status kepemilikan rumah, persentase rumah tangga miskin yang sudah memiliki rumah sendiri atas kepemilikan pribadi sebesar 79,63 persen, sedangkan persentase rumah tangga tidak miskin yang memiliki rumah atas kepemilikan pribadi tersebut sudah mencapai 84,58 persen.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kondisi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Triwulan I 2019

NERACA PEMBAYARAN INDONESIA (NPI) TRIWULAN I 2019

Posisi Surat Berharga Negara (SBN) Update April 2019