Menilai Cara Pemerintah Menghadapi Gempuran Corona
Hingga saat ini pemerintah masih memberlakukan langkah
pembatasan sosial atau social distancing dalam meredam penyebaran virus corona
yang telah mewabah. Sementara untuk meredam dampak dari kebijakan yang telah
diberlakukan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah insentif demi menjaga daya
beli masyarakat.
Kebijakan-kebijakan tersebut di antaranya insentif
perpajakan untuk sektor-sektor terdampak, relaksasi kredit untuk masyarakat
terdampak, dan banyak lagi.
Lalu, sudah tepatkah langkah yang ditempuh pemerintah
sejauh ini? Simak wawancara bersama pengamat ekonomi sekaligus peneliti senior
pada Institute of Developing Entrepreneurship dan Ketua Kebijakan Publik
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono berikut:
Bagaimana
pendapat Anda tentang stimulus pemerintah yang disampaikan Presiden 31 Maret
2020 untuk mengatasi wabah corona?
Menurut saya langkah itu oke saja. Banyak sekali
variasi kebijakan yang dilakukan dan terima kasih untuk itu. Tetapi saya
menyarankan agar lebih fokus, khusus dikonsentrasikan untuk menghentikan
penyebaran corona, tidak perlu terlalu banyak hal yang dilakukan.
Dalam situasi begini harus fokus pada akar masalah,
yaitu wabah virus corona itu. Jadi segala daya diarahkan untuk menghentikan
penyebaran virus corona. Kalau virus corona itu bisa dihentikan, maka berbagai
persoalan ekonomi akan berhenti dengan sendirinya.
Ada dana tambahan pembiayaan APBN Rp 405,1 triliun
tetapi terbagi-bagi untuk berbagai pengeluaran. Rp 75 triliun untuk belanja
bidang kesehatan, Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp 70,1 triliun
untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR), serta Rp 150
triliun untuk biaya program pemulihan ekonomi nasional. Programnya antara lain
penambahan PKH, kartu sembako, peningkatan kartu pra kerja, pembebasan biaya
listrik, insentif perumahan, insentif pajak, dan lain-lain. Uangnya kan
terbatas, apa nggak sebaiknya difokuskan untuk menghentikan penyebaran virus
corona lebih dulu?
Pengeluaran untuk yang lain-lain seperti perpajakan,
KUR, stimulus ekonomi dan lain-lain kan bisa belakangan waktu pemulihan
ekonomi. Sebab ekonomi dan persoalan sosial lain, tidak akan tertolong selama
virus corona tidak dapat dihentikan. Para ahli statistik kesehatan
memperkirakan angka terinfeksi corona akan mencapai 70.000 orang bahkan mungkin
lebih. Kalau itu terjadi apakah jumlah rumah sakit, fasilitas kesehatan, jumlah
tenaga medis nanti cukup merespons itu? Banyak yang meragukan. Harusnya fokus
dan prioritas tinggi pada sarana dan fasilitas pencegahan corona. Dengan
tingkat kematian yang saat ini mencapai 8,9% kan sangat mengkhawatirkan, karena
rata-rata tingkat kematian global hanya 4,8%.
Jadi
menurut Anda pengeluaran lain-lain tidak perlu?
Bukan tidak perlu, ibarat sebuah kampung yang dilanda
kebakaran, bukan kita bekerja membereskan puing-puing akibat kebakaran, tetapi
upaya utamanya adalah memadamkan api. Kalau apinya semakin besar dan membesar,
maka habislah kampung dilahap api, pekerjaan membereskan puing kehilangan
manfaat. Ayo kita padamkan api itu, setelah itu mari kita perbaiki puing-puing
rumah yang terbakar. Kita bukan negara seperti China yang memiliki sumber daya
melimpah, kita sangat terbatas. Amerika Serikat (AS) yang 3 hari lalu mengeluarkan
stimulus US$ 2,2 triliun atau setara Rp 35.200 triliun (kurs Rp 16.000/US$),
dampaknya juga hanya beberapa hari saja menahan kejatuhan bursa, setelah itu
kembali jatuh.
Jadi sebaiknya energi kita dikonsentrasikan untuk
menghentikan penyebaran virus corona. Lihat saja Wuhan, ketika kasus baru
infeksi corona sudah tidak ditemukan, ekonominya langsung menggeliat secara
otomatis.
Bagaimana
dengan kebijakan moneter?
Sudah banyak saya kira yang dilakukan pemerintah.
Beberapa kali bunga diturunkan, Giro Wajib Minimum diturunkan, penundaan
pembayaran pokok dan bunga untuk semua skema KUR, stimulus kredit di bawah Rp
10 miliar, restrukturisasi kredit tanpa melihat plafon kredit. Ini sudah cukup
baik yang pemerintah lakukan.
Inti masalah bukan pada semata-mata faktor permintaan
(demand side), bukan karena orang nggak punya uang tidak beli tiket pesawat,
bukan karena tidak ada uang orang tidak pergi ke mal, bukan karena terlalu
miskin sehingga wisatawan anjlok, tetapi semata-mata karena orang tidak berani
keluar rumah karena taruhannya adalah nyawa terserang virus corona. Beda dengan
krisis ekonomi tahun 2008, pada waktu itu memang terjadi kekeringan likuiditas
akibat skandal mortgage di AS, sehingga sektor keuangan kita sakit. Maka
obatnya adalah ekspansi moneter maupun fiskal.
Sekarang ini faktor penawaran (supply side) menjadi
faktor yang sangat krusial. Produksi berhenti karena karyawan tidak bekerja
akibat ancaman corona. Bayangkan moneter yang terlalu longgar, uang beredar
banyak tetapi barang tidak ada karena produksi terhenti, yang terjadi adalah
hiperinflasi, yang diuntungkan adalah para penimbun.
Untuk itu sisi produksi harus dijaga, jangan sampai
semua buruh dirumahkan nanti barang yang dibutuhkan masyarakat tidak tersedia,
itu juga berbahaya. Bayangkan kalau dalam kondisi begini kebutuhan bahan pokok
tidak tersedia? Untuk itu proses produksi pabrik-pabrik harus dijaga.
Pemerintah bisa membantu keamanan para buruh yang bekerja, dilengkapi dengan
Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai. Jadi yang memerlukan APD bukan hanya
tenaga medis, tetapi mereka yang tetap bekerja untuk menjaga ekonomi produksi
juga dipikirkan, meskipun dengan standar yang lebih rendah sesuai kebutuhan.
Bagaimana
dengan pekerja yang mendapat penghasilan harian?
Ini adalah mata rantai penting untuk memutus rantai
penyebaran corona. Selama mobilitas mereka masih tinggi akan sulit menghentikan
corona. Mereka harus disubsidi agar tetap tinggal di rumah tetapi di supply
kebutuhannya. Jangan sampai malah pulang kampung karena tidak bisa hidup di
Jakarta. Kalau sampai pulang kampung akan menyebarkan corona lebih parah sampai
ke desa-desa.
Episentrum corona ini kan Jakarta dan beberapa kota di
Jawa. Episentrum inilah yang harus dijaga, mestinya tidak terlalu besar
biayanya. Misalnya dibanding dengan subsidi untuk kartu pra kerja, KUR, PKH dan
lain-lain. Padahal ditambah kartu para kerja, KUR, atau PKH kurang berdampak
bagi upaya penghentian penyebaran corona. Program ini harusnya dijalankan nanti
pada masa pemulihan ekonomi.
Satu lagi yang sangat-sangat penting, jangan sampai
kota-kota lain di luar Jakarta, seperti Medan, Aceh, dan di pulau-pulau lain
tidak terjaga dan malah mengikuti pola Jakarta. Akan sangat berat masalahnya
jika mengikuti pola Jakarta. Untuk itu kalau ada Kepala Daerah yang berkeras
menutup daerahnya dan memberlakukan lockdown, mestinya jangan dilarang.
Kesalahan utama kita adalah menganggap sepele wabah corona, dengan keyakinan
bahwa Indonesia imun dari corona. Kalau kita waspada dari awal seperti
Singapura dan Jepang, masalah dan biayanya tidak akan seberat sekarang ini.
Komentar
Posting Komentar