Pemerintah Diminta Fokus Lawan Corona, Jaga Buruh, dan Cegah Mudik
Presiden Joko Widodo
(Jokowi) telah menganggarkan Rp 405,1 triliun untuk menangani pandemi virus
Corona. Pengamat ekonomi Sutrisno Iwantono menganalisa supaya solusi pemerintah
bisa lebih jitu: fokuskan anggaran, jangan rumahkan buruh, dan setop arus mudik
dari Jakarta.
"Uangnya kan
terbatas apa ga sebaiknya difokuskan untuk menghentikan penyebaran virus corona
lebih dulu. Pengeluaran untuk yang lain-lain, seperti perpajakan, KUR, stimulus
ekonomi dll. kan bisa belakangan waktu pemulihan ekonomi. Sebab ekonomi dan
persoalan sosial lain tidak akan tertolong selama virus Corona tidak dapat
dihentikan," kata Sutrisno yang juga peneliti senior pada Institute of
Developing Entrepreneurship, Rabu (1/4/2020).
Ekonomi masyarakat perlu
dijaga. Pabrik-pabrik yang menyuplai kebutuhan masyarakat juga perlu tetap
beroperasi. Buruh-buruh pabrik harus terhindar dari PHK gegara COVID-19.
Situasi akan berbahaya bila para buruh berhenti bekerja, karena tak ada lagi
tenaga yang memproduksi kebutuhan masyarakat.
"Karena itu sisi
produksi harus di jaga, jangan sampai semua buruh dirumahkan, nanti barang yang
dibutuhkan masyarakat tidak tersedia, itu juga berbahaya. Bayangkan kalau dalam
kondisi begini kebutuhan bahan pokok tidak tersedia? Karena itu proses produksi
pabrik-pabrik harus di jaga," kata Sutrisno.
Penularan Corona juga
perlu dicegah supaya tidak menyebar lebih luas. Episentrum Corona ada di
Jakarta. Bila penduduk Jakarta mudik, maka penduduk tersebut bisa membawa virus
tersebut ke kampung halaman. Arus mudik perlu disetop. Mudiknya penduduk
Jakarta bukan tanpa alasan, itu dilakukan karena mereka tidak kuat menanggung
biaya hidup Jakarta yang tinggi. Agar penduduk tidak mudik, maka pemerintah
bisa memberi subsidi.
"Mereka harus
disubsidi agar tetap tinggal dirumah tetapi di supply kebutuhannya. Jangan
sampai malah pulang kampung karena tidak bisa hidup di Jakarta. Kalau sampai
pulang kampung akan menyebarkan Corona lebih parah sampai ke desa desa,"
kata Sutrisno.
Berikut adalah wawancara
lengkap dengan Sutrisno Iwantono:
WAWANCARA
DENGAN SUTRISNO IWANTONO
Pengamat Ekonomi
Peneliti Senior pada
Institute of Developing Entrepreneurship
Juga Ketua Kebijakan
Publik APINDO
Bagaimana pendapat anda
tentang stimulus pemerintah yang disampaikan Presiden untuk mengatasi wabah
Korona?
Menurut
saya langkah itu oke saja, banyak sekali variasi kebijakan yang dilakukan, dan
terima kasih untuk itu. Tetapi saya menyarankan agar lebih focus, khusus
dikonsentrasikan untuk menghentikan penyebaran Corona, tidak perlu terlalu
banyak hal yang akan dilakukan.
Dalam
situasi begini harus fokus pada akar masalah, yaitu wabah virus Corona itu.
Jadi segala daya diarahkan untuk menghentikan penyebaran virus corona. Kalau
virus corona itu bisa dihentikan, maka berbagai persoalan ekonomi akan berhenti
dengan sendirinya.
Ada
dana tambahan pembiayaan APBN Rp 405,1 Triliun tetapi terbagi-bagi untuk
berbagai pengeluaran a.l. Rp 75 T untuk kesehatan, Rp 110 untuk social safety
net, Rp 70,1 T untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR, serta Rp 150 T untuk
program pemulihan ekonomi nasional.
Programnya
antara lain penambahan PKH, Kartu sembako, penikngkatan kartu pra kerja,
pembebasan biaya listrik, insentif perumahan, insentif pajak dll.
Uangnya
kan terbatas apa ga sebaiknya difokuskan untuk menghentikan penyebaran virus
corona lebih dulu. Pengeluaran untuk yang lain-lain, seperti perpajakan, KUR,
stimulus ekonomi dll. kan bisa belakangan waktu pemulihan ekonomi. Sebab
ekonomi dan persoalan sosial lain tidak akan tertolong selama virus Corona
tidak dapat dihentikan.
Para
ahli statistic kesehatan memperkirakan angka terinfeksi korona akan mencapai
70.000 orang bahkan mungkin lebih. Kalau itu terjadi apakah jumlah rumah sakit,
fasilitas kesehatan, jumlah tenaga medis nanti cukup merespon itu? Banyak yang
meragukan.
Harusnyalah
fokus dan prioritas tinggi pada sarana dan fasiltas pencegahan Corona Dengan
tingkat kematian yang saat ini mencapai 8,9% kan sangat menkhawatirkan, karena
rata-rata tingkat kematian global hanya 4,8%.
Jadi menurut anda
pengeluaran lain-lain tidak perlu?
Bukan
tidak perlu, ibarat sebuah kampung yang dilanda kebakaran, bukan kita bekerja
membereskan puing-puing akibat kebakaran, tetapi upaya utamanya adalah
memadamkan api. Kalau apinya semakin besar dan membesar, maka habislah kampung
dilahap api, pekerjaan membereskan puing kehilangan manfaat. Ayo kita padamkan
api itu, setelah itu mari kita perbaiki puing-puing rumah yang terbakar.
Kita
bukan negara seperti China yang memiliki sumber daya melimpah, kita sangat
terbatas. Amerika Serikat yang 3 hari lalu mengeluarkan stimulus USD 2,2
triliun atau setara Rp35.200 triliun, dampaknya juga hanya beberapa hari saja
menahan kejatuhan bursa, setelah itu kembali jatuh.
Jadi
sekali lagi energy kita sebaiknya dikonsentrasikan untuk menghentikan
penyebaran Corona. Lihat saja Wuhan ketika kasus baru infeksi Corona sudah
tidak diketemukan, ekonominya langsung menggeliat secara otomatis.
Bagaimana dengan
kebijakan moneter?
Sudah
banyak saya kira yang dilakukan pemerintah, beberapa kali bunga diturunkan,
Giro Wajib Minimum diturunkan. Penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk semua
skema KUR, stimulus kredit dibawah Rp 10 Milyar, restrukturisasi kredit tanpa
melihat plafon kredit. Ini sudah cukup baik pemerintah melakukan.
Inti
masalahlah bukan pada semata-mata faKtor permintaan (demand side), bukan karena
orang nggak punya uang tidak beli tiket pesawat, bukan karena tidak ada uang
orang tidak pergi ke mall, bukan karena terlalu miskin sehingga wisatawan
anjlok, tetapi semata-mata karena orang tidak berani keluar rumah karena
taruhannya adalah nyawa terserang virus Corona.
Beda
dengan krisis ekonomi tahun 2008, pada waktu itu memang terjadi kekeringan
likuiditas akibat skandal mortgage di Amerika, sehingga sector keuangan kita
sakit. Maka obatnya adalah ekspansi moneter maupun fiskal. Sekarang ini factor
penawaran (supply side) menjadi factor yang sangat krusial. Produksi berhenti
karena karyawan tidak bekerja akibat ancaman Corona. Bayangkan moneter yang
terlalu longgar, uang beredar banyak tetapi barang tidak ada karena produksi
terhenti, yang terjadi adalah hiper-inflasi, yang diuntungkan adalah para
penimbun.
Karena
itu sisi produksi harus di jaga, jangan sampai semua buruh dirumahkan, nanti
barang yang dibutuhkan masyarakat tidak tersedia, itu juga berbahaya. Bayangkan
kalau dalam kondisi begini kebutuhan bahan pokok tidak tersedia? Karena itu
proses produksi pabrik-pabrik harus di jaga.
Pemerintah
bisa membantu keamanan para buruh yang bekerja, dilengkapi dengan Alat
Pelindung Diri (APD) yang memadai. Jadi yang memerlukan APD bukan hanya tenaga
medis tetapi mereka yang tetap bekerja untuk menjaga ekonomi produksi juga
dipikirkan tetapi dengan standard yang lebih rendah sesuai kebutuhan.
Bagaimana dengan pekerja
yang mendapat penghasilan harian?
Ini
adalah mata rantai penting untuk memutus rantai penyebaran Corona. Selama
mobilitas mereka masih tinggi akan sulit menghentikan Corona.
Mereka
harus disubsidi agar tetap tinggal dirumah tetapi di supply kebutuhannya.
Jangan sampai malah pulang kampung karena tidak bisa hidup di Jakarta. Kalau
sampai pulang kampung akan menyebarkan Corona lebih parah sampai ke desa desa.
Episentrum
Corona ini kan Jakarta dan beberapa kota di Jawa. Episentrum inilah yang harus
dijaga, mestinya tidak terlalu besar biayanya. Misalnya dibanding dengan
subsidi untuk kartu pra kerja, KUR, PKH dll. yang diperuntukan bagi seluruh
wilayah di Indonesia, padahal ditambah kartu para kerja, KUR, atau PKH kurang
berdampak bagi upaya penghentian penyebaran korona. Program ini dijalankan
nanti pada masa pemulihan ekonomi.
Satu
lagi yang sangat-sangat penting, jangan sampai kota-kota lain diluar Jakarta,
sperti Medan, Aceh, dan di pulau-pulau lain tidak terjaga dan malah mengikuti
pola Jakarta. Akan sangat sangat berat masalahnya jika mengikuti pola Jakarta.
Karena itu kalaU ada Kepala Daerah yang berkeras menutup daerahnya, dan
memberlakukan 'lock down" mestinya jangan dilarang. Kesalahan utama kita
adalah menganggap sepele wabah Corona, dengan keyakinan bahwa Indonesia imun
dari korona. Kalau kita waspada dari awal, seperti Singapura dan Jepang,
masalah dan biayanya tidak akan seberat sekarang ini.
Komentar
Posting Komentar