PR Jokowi 2019-2024: RI Jangan Masuk Jebakan Kelas Menengah
Proses Pemilu 2019 sudah memasuki tahap akhir, hampir rampung. Saat ini tinggal melalui tahap sidang sengketa hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Setelah upaya mencari keadilan di MK selesai, maka presiden terpilih akan dilantik dan siap menjalankan tugas hingga 2024. Namun kalau merujuk terhadap hasil perhitungan suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin merupakan pasangan presiden-wakil presiden terpilih.
Jokowi adalah calon petahana (incumbent). Kembalinya Jokowi ke kursi RI-1 memberi kesempatan baginya untuk meneruskan dan memperkuat program yang sudah dilaksanakan sejak 2014.
Sutrisno Iwantono, Kepala Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menyatakan pekerjaan rumah terbesar Jokowi adalah mengantarkan Indonesia keluar dari jebakan kelas menengah (middle income trap). Istilah ini dipopulerkan oleh Bank Dunia, merujuk pada negara berpendapatan menengah yang sulit naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi alias negara maju.
Bank Dunia membagi negara-negara di dunia dalam empat kelompok pendapatan, yakni kelompok negara berpendapatan rendah dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar US$ 995 ke bawah, negara berpendapatan menengah ke bawah (lower-middle income) di kisaran US$ 996-3.895, negara berpendapatan menengah ke atas (upper-middle income) US$ 3.896-12.055, dan negara pendapatan tinggi atau maju (high income) di atas US$ 12.056.
"Saat ini rata-rata pendapatan per kapita Indonesia adalah US$ 3.927 per tahun, atau baru saja memasuki upper-middle income. Agenda utama pemerintahan baru nanti seyogianya adalah segera membawa, paling tidak meletakkan dasar agar Indonesia lepas dari jebakan pendapatan menengah," kata Iwantono.
Menurut Iwantono, negara yang terjebak di perangkap kelas menengah akan mengalami masalah pelik. Negara-negara seperti ini akan kehilangan keunggulan kompetitif dalam mengekspor. Ini otomatis membuat daya saing akan kalah dari negara-negara maju.
"Kondisi lapangan kerja juga memburuk. Akibatnya, negara-negara ini untuk jangka waktu yang lama tidak dapat keluar dari kelompok pendapatan menengah. Contohnya adalah Brasil dan Afrika Selatan," kata Iwantono.
Pertumbuhan Ekonomi 5% Tak Cukup Lagi
Agar Indonesia terhindar dari jebakan kelas menengah, tambah Iwantono, kuncinya adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi. Angka pertumbuhan di kisaran 5% tidak lagi memadai, Indonesia harus tumbuh di atas 6-7%.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut, Iwantono menyarankan beberapa kebijakan. Pertama adalah meningkatkan kinerja ekspor. Termasuk kualitasnya, jangan lagi terlena dengan ekspor komoditas.
"Saat ini ekspor terbesar kita adalah komoditas, terutama bahan bakar mineral yang mencapai 15,49%. Sementara ekspor manufaktur justru turun drastis, pada 2010 pernah mencapai 27% tetapi sekarang tinggal sekitar 19%. Ekspor seharusnya menitikberatkan kepada sektor manufaktur yang bernilai tinggi dan mampu menciptakan lapangan kerja. Kita menghadapi masalah defisit transaksi berjalan yang sangat besar dan terus-menerus akibat problem ini," jelasnya.
Kedua adalah mendorong investasi. Caranya adalah dengan mempermudah perizinan, kepastian hukum, sistem perpajakan, dukungan infrastruktur, sumber daya manusia, tingkat upah, birokrasi, pungli dan korupsi, volatilitas nilai tukar, serta kemudahan bahan baku.
Ketiga, Indonesia harus membangun sektor-sektor yang bermuatan inovasi dan ide-ide kreatif. Kegiatan research and developement (R&D) merupakan kunci membangun ekonomi berdasar kreativitas dan inovasi.
"Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan Apindo minggu lalu menyebutkan dana R&D dalam APBN kita sangat besar, mencapai Rp 26 triliun, yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga. Kita mendukung gagasan Pak Jokowi untuk merevitalisasi dana R&D agar bisa disatukan dan di okuskan untuk kegiatan yang berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi," ucap Iwantono.
Keempat, Indonesia harus menjaga dan meningkatkan permintaan domestik yang masih dominan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pada kuartal I-2019, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,28%.
"Kelas menengah yang semakin banyak dapat menggunakan daya belinya untuk membeli produk-produk inovatif dengan kualitas tinggi dan membantu mendorong pertumbuhan," ujar Iwantono.
Kelima, demikian Iwantono, adalah peningkatan kualitas kebijakan dan birokrasi. Pembenahan ini mencakup koordinasi, kepastian hukum, dan pelayanan cepat berkualitas.
Iwantono menilai koordinasi antar lembaga belum optimal selama lima tahun ke belakang. Masih terasa egosentris antar menteri.
"Ke depan, egosentris ini harus dihilangkan. Kementerian-kementerian penting seperti Perdagangan dan Pertanian perlu direformasi dan dipimpin oleh orang yang mengerti pekerjaannya," tegas Iwantono.
Kemudian untuk mampu lolos dari jeratan negara berpendapatan menengah, Iwantono menilai ada tiga sektor yang perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan. Pertama adalah manufaktur padat karya yang menghasilkan nilai tambah dan berorientasi ekspor. Contohnya adalah pariwisata, tekstil, serta makanan-minuman.
Sektor kedua adalah usaha rintisan (startup) yang bergerak di industri 4.0 seperti informasi dan telekomunikasi. Sektor ketiga adalah yang terkait dengan swasembada pangan yaitu tanaman pangan, peternakan, dan perikanan.
Komentar
Posting Komentar