Apindo: Korupsi Berawal dari Perizinan yang Dipersulit

Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo Sutrisno Iwantono menyebutkan perizinan yang sulit merupakan akar dari praktek suap yang sering terjadi. "Korupsi terjadi karena memang berasal dari perizinan yakni dari suap perizinan. Suap terjadi karena orang itu minta izin," ujarnya, Kamis, 26 September 2019.
Oleh karena itu, menurut Sutrisno, apabila pemerintah ingin menghapuskan korupsi maka pemerintah perlu menyederhanakan perizinan. Salah satunya dengan digitalisasi izin melalui Online Single Submission (OSS) yang sudah berjalan setahun ini.

Namun begitu, Sutrisno menilai pelaksanaan OSS di lapangan hanya berfungsi sebagai pintu masuk untuk memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB). Setelah itu, proses perizinan tetap berjalan seperti sebagaimana sebelum ada OSS dan justru malah berpotensi menambah rantai prosedur perizinan.
"Dulu kalau izin pariwisata itu cukup dengan dinas pariwisata. sekarang kita harus OSS. Selebihnya masih panjang, bahkan PTSP itu bisa jadi menambah meja berikutnya," ujar Sutrisno. Persoalan ini pun timbul karena pemerintah daerah pada hakikatnya masih belum mau dan memang tidak mau untuk mengimplementasikan OSS secara total.
Padahal, Indonesia saat ini perlu mengembangkan ekspor dan investasi agar ke depan Indonesia mampu terhindar dari middle income trap yang mulai membayangi. "Saya ingin menyatakan kepada daerah bahwa kita menghadapi problem ekonomi, kalau mau maju tolong perizinan dikurangi," kata Sutrisno.
Sebelumnya, pernyataan Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko yang menyebut kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menghambat investasi dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Meski telah diralat, sejumlah pegiat anti korupsi menyayangkan kalimat yang sempat terlontar dari pejabat istana itu, karena dinilai merugikan dan menimbulkan sesat pikir di masyarakat.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menuturkan berdasarkan hasil survei Indeks Persepsi Korupsi yang digulirkan lembaganya, tingkat korupsi di Indonesia yang terus membaik dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia di tingkat global. “Jadi kontribusi KPK terhadap investasi dan perekonomian Indonesia nilainya positif,” ujarnya.
Wawan pun merujuk hasil survei TII pada 2017 lalu yang dilakukan di 12 kota dan melibatkan 1.200 responden pengusaha, mendapatkan hasil bahwa 5 dari 10 pengusaha yang menjadi responden mengetahui maraknya praktik korupsi di birokrasi daerah. “Sebanyak 17 persen pelaku usaha mengaku kalah mendapatkan keuntungan karena pesaingnya melakukan suap untuk perizinan, data ini turun dari 2015 yang jumlahnya 20 persen,” ucapnya.
Wawan melanjutkan kalangan pengusaha pun kini semakin sadar akan pentingnya integritas dalam berbisnis dan mulai merasakan dampak positif ketika praktik korupsi diberantas. “Mereka merasakan ada kepastian hukum, kepastian regulasi, hingga kepastian standar prosedur untuk berusaha.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kondisi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Triwulan I 2019

NERACA PEMBAYARAN INDONESIA (NPI) TRIWULAN I 2019

Posisi Surat Berharga Negara (SBN) Update April 2019